JARING MEDIA SOSIAL DAN ALIBI TOLERANSI

14:01:00
kaiu indonesia
Apakah Indonesia lahir di atas nama keberagaman, mungkin saja, bisa jadi bukan keberagaman melainkan atas nama perlawanan. Menurut saya Indonesia lahir dari semangat yang kesemutan, telah lama diam dan tiba-tiba bangkit tak tertahankan. Semangat yang satu untuk memperjuangkan tanah air Indonesia, menjunjung tinggi bahasa Indonesia, semangat yang satu ingin menjadi bangsa Indonesia. Persatuan yang penuh keikhlasan, namun itu dulu ketika jejaring media sosial belum ada di genggaman.
sumber gamber: huffpost

Media sosial seperti jaring yang menyaring mana saja yang menurut mereka penting, jika menurutnya yang terpenting adalah kekinian maka mereka akan mengikuti sesuatu yang terkini, jika menurutnya yang terpenting adalah humanis maka mereka akan mengikuti sesuatu yang dilihat tidak terlalu manis. Terlalu cepat media sosial melancarkan agresi mengotak-ngotakan, membuat masyarakat mengedepankan perbedaan, melupakan bahagianya masa sekolah dasar saat belajar kewarganegaraan. Tenggang rasa berubah menjadi ego tabula rasa, merasa tiap diri paling benar, hanya melihat dunia dari telepon pintar.

Kedewasaan sosial bukan berarti menyamakan yang beda untuk membentuk tenggang rasa, situasi masyarakat sebenarnya sedang dikejutkan dengan ragam informasi yang masuk dalam satu waktu. Wajar terlalu cepat mengambil kesimpulan hingga hilang identitas budaya, mencomotnya dari budaya sana sini yang berserakan di media sosial. Jangan heran jika masyarakatnya sibuk melayani ketertarikan akan budaya asing, hingga budayanya sendiri lari ke orang lain yang memiliki perhatian lebih.

Bombardir akan budaya bukan hanya ancaman yang baru, juga pernah terjadi di era-era terdahulu, dengan tipu muslihat yang berbeda. Dan akhirnya budaya yang dibawa ibu-bapak akan perlahan tergantikan, hanya keyakinan yang tetap mencoba bertahan menyertai zaman. Pada guratan kata karya mas Yudi Latif, sangat menggelitik rasa keingintahuan, bagaimana pola hidup seorang Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, dikemas dalam tajuk "Ketuhanan Hatta".

Di beberapa alineanya, mas Yudi mencoba menjelaskan sosok pak Hatta yang tetap menjalankan kewajiban beragama walau berada di tengah kehidupan budaya Eropa. Pak Hatta mengatakan, "Sebagaimana biasa aku bangun pagi hari pada jam 6.30. Waktu musim dingin aku tidur sampai jam 7. Setelah aku bangun dan sembahyang subuh, aku mulai membaca surat kabar.” (Hatta, 1982: 184).
Dengan dasar kerohanian yang kuat, dalam menempuh jalan berliku dari kota kecil di Sumatera Barat, menuju kota besar Jakarta, hingga menembus jantung kosmopolitanisme Eropa, Hatta tidak pernah mengalami “gegar budaya” (culture shock), yang membuatnya harus memudarkan keyakinan.

Kebhinekaan yang tunggal dan ika, seperti dua buah mata pisau. Di satu sisi adalah hal baik yang harus dikelolah dengan baik pula dan di sisi lain kekhawatiran, khawatir mayoritas dan minoritas saling bersinggungan di tanah Indonesia, yang padahal satu bahasa dan satu bangsa. Akhirnya muncul, agresi senyap di dunia robot, perang ideologi di ranah google dan juga yahoo untuk ciptakan kebingungan sosial.

Banyak lagi permasalahan keberagaman yang timbul karena bingung, pak Lukman Hakim Saifuddin Menteri Agama RI menjelaskan masalah keberagaman di Indonesia dalam orasi budaya di kesempatan ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen yang ke-22 di Jakarta. Dan ditutup dengan ajakan melapangkan dada untuk saling mengerti dan memahami, mengulurkan tangan untuk saling mengisi dan melengkapi, agar tersemai bibit-bibit toleransi.

Namun pada praktiknya, sebagian besar orang sangat mudah sekali mengeluarkan kata "intoleran" untuk sebagian kecil orang lainnya, dan sebaliknya sebagian kecil orang mengkambing hitamkan kata "intoleran" di atas sebagian besar orang. Ini karena apa? Bisa jadi karena kebingungan, yang tak pernah terjawab.

Media sosial ibarat sejenis makanan ringan, kebutuhan akan makanan namun tidak premier, lapar akan informasi, lapar akan wawasan, lapar akan segala, dan media sosial mencoba menjawabnya. Hanya saja orang terlalu langsung menelan apa saja yang ada di media sosial, informasi masuk mulut tanpa dikunyah tanpa dirasa. Media sosial tak terhindarkan, produk warta yang kini online masih banyak diragukan, jurnalisme robot menjadi ketakutan tersendiri untuk mereka yang lapar akan informasi. Semenjak google dan yahoo dipercaya punya produk informasi yang relevan, tapi tidak menutup kemungkinan ada informasi yang hampir basi dan berbau busuk, karena sistem ini menggunakan robot.

Ini tentang kelaparan orang akan media sosial, mungkin orang sedang gegar budaya atas kebingungan yang tercipta dari media sosial. Media sosial, dengan kata "media" dan "sosial" seharusnya menjadi wadah orang untuk bermasyarakat, namun orang lebih mengelitik ikut komentar jika ada isu tentang perebutan lahan, jika ada isu tentang kekerasan antar suku, inikah nilai bermasyarakat.

Saya sangat tertarik dengan nukilan mas Wisnu yang menegaskan bahwa kesalahan bermedia sosial ada pada diri sendiri bukan pada orang yang menyebarkan isu. Etika bermedia sosial perlu untuk mendewasakan sisi sosial diri di dunia maya, bukan malah mencari cela hukum untuk menghukum penyebar isu, alhasil timbul kebingungan baru.

Menurut mas Wisnu, penyebaran hoaks lebih merupakan persoalan etika. Sanksi pelanggaran etika bukanlah hukum positif, melainkan sanksi sosial di masyarakat. Misalnya, dikecam, dihindari, tidak dipercaya lagi, digunjingkan, menerima bully, dan sebagainya.

Saya menutup tulisan ini dengan kutipan yang harapannya menjadi renungan bersama. Jika pada akhirnya media sosial dianggap sebagai ancaman keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka keberagaman bersosialisasi adalah ancaman paling berbahaya. Keberagaman fitrahnya perbedaan, toleransi bukan memaksa untuk disama-samakan.

referensi;

2 komentar